bangkit

Mana yang lebih berat, gagal meraih kesuksesan atau terus berproses demi meraih impian?

Jawaban untuk pertanyaan sederhana di atas belum bisa saya jawab hingga bertahun-tahun. Seandainya saya masih bergantung pada tempat yang sama ketika pertama kali sampai di ibukota, mungkin saya masih belum dapat menjawab pertanyaan itu dan apa yang sudah saya peroleh hari ini mungkin masih sekedar angan belaka. 

Perjalanan hidup itu penuh dengan cobaan. Demikian halnya perjalanan hidup yang telah saya lalui. Betapa berat, betapa terjal, betapa menantangnya untuk terus bangkit meski harus gagal, jatuh, dan ambruk berkali-kali. 

Ketika momen penuh perjuangan benar-benar membuat jatuh tersungkur, saya pernah terpaksa pulang ke kampung halaman dengan rasa malu. Tapi, di kampung kelahiran, titik awal saya memulai semuanya, saya kembali mengingat satu-satunya modal yang pernah membawa saya ke Jakarta, yaitu mimpi-mimpi yang saya ukir di atas pohon karet.

Dengan bermimpi saya berani mencoba, dengan mengingat kembali mimpi saya berani untuk terus melangkah, dengan terus melangkah saya berani untuk sukses. 

Hidup itu kadang lucu. Kita pergi jauh-jauh dari rumah hanya untuk merasakan kerinduan untuk pulang. Kita berjuang keras mati-matian dari hari ke hari, tapi tidak jarang yang sebenarnya kita cari adalah arti menyambung kehidupan. Kita rela menabung puing-puing impian demi menjadikannya kenyataan, tapi sebelum yang kita rancang bisa berdiri kokoh, terkadang menara impian yang dibangun itu mesti roboh berkali-kali. Kita lahir, menangis dengan air mata yang terasa asin, karena kemudian kita tahu pada dasarnya hidup memang penuh ujian dan tidak jarang terasa pedih. Dan setelah kita tumbuh besar melewati bermacam cobaan, di ujung sana yang kita cari ternyata adalah belajar menertawakan kehidupan. Banyak kejadian yang tak terduga terjadi di hidup kita, begitupun banyak makna yang tersirat berasal dari hal-hal yang sederhana. Mungkin, semua tergantung dari bagaimana kita menyikapinya. Life’s kinda funny.

Bermula dari sebuah kota kecil di pundak khatulistiwa, di balik rimbun pepohonan desa Sijangkung, beberapa kilometer dari Singkawang, seorang anak terpesona dengan kisah-kisah ibukota yang ia dapat dari guru, teman, dan para perantau yang sedang pulang ke kampungnya.
Jakarta, ibukota itu, telah membius pikiran si anak dengan pikatnya. Manisan pala warna-warni di keranjang oleh-oleh khas Jakarta dari seorang handai taulan seolah telah memanggilnya untuk segera melangkahkan kaki ke luar dari desa kelahiran. Tapi apa daya, keberuntungan belum berpihak pada si anak. Keadaan memaksanya untuk berjuang mencari penghidupan sejak usia dini dan keterbatasan membuatnya hanya bisa menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama. Namun, itu bukanlah akhir. Kemustahilan hanya milik mereka, para leluhur yang sudah berpulang. Siapa yang menyangka bahwa si anak akan mampu menunaikan mimpi besarnya di ibukota itu?